Capek sekali badanku hari ini, seharian ini banyak sekali pekerjaan yang
kuselesaikan, meski belum kelar semua rasanya puas juga menjalani
kesibukan hari ini.
Sore itu jam sudah hampir setengah enam sore, setelah membereskan
berkas-berkas di ruangan aku siap pulang ke rumah, mobil Escudo hitamku
sudah siap di tempat parkir mengantarku pulang. Kulihat jalanan di depan
kantor nggak macet, ternyata perkiraanku salah, kurang lebih 2 km dari
kantor, jalanan macet total, yah sudahlah nikmati saja daripada
menggerutu juga nggak akan ngurangin macet. Kaca mobil kututup
kunyalakan AC dan kuputar siaran radio di mobil, cari-cari channel nggak
ada yang bagus, akhirnya ketemu channel musik slowrock, wah asyik juga
daripada bengong.
Lokasi kantorku kebetulan deket dengan jajaran pabrik-pabrik, dan jam
segitu rupanya macet angkutan umum yang mencari penumpang, tiba-tiba
ditengah kemacetan jalanan kulihat didepan sebuah toko ada seorang
perempuan yang manis sekali, kulitnya putih, tingginya sekitar 165 cm
dengan menggunakan seragam pabrik biru-biru ditutup blazer hitam terbuka
yang kelihatan ketat terlihat dadanya begitu menyesakkan baju
seragamnya, untuk ukuran karyawan pabrik, cewek itu terlalu cantik,
meski bajunya begitu sederhana tidak sebanding dengan kecantikannya.
Kuperhatikan dengan seksama, dia kelihatan memandangku dan tersenyum
tipis menatapku, akupun tersenyum memandangnya, tiba-tiba aku dikagetkan
suara klakson mobil dibelakangku, cepat-cepat kutancap mobilku
berhubung jalan didepan sudah lancar sekitar 30 meter ke depan.
Menyesal sekali aku tidak bisa berhenti waktu itu, kulihat di spion
perempuan itu naik angkot di tiga mobil dibelakangku.. Seandainya saja?
Sekira 200 meter jalan lancer, tiba-tiba kemacetan datang lagi, makin
sumpek aja aku, akhirnya kulihat didepan ada toko kecil dengan tempat
parkir yang agak luas, akhirnya lampu sent mobil kunyalakan kekiri dan
aku berhenti, meski masih ada rokok, kuniatkan beli lagi sambil beli
minuman ringan, sambil berharap perempuan di angkot belakang bisa
ketahuan lagi jejaknya.
Alamak.. Sambil minum teh botol dingin, tiba-tiba saja angkot dibelakang
yang membawa perempuan itu berhenti, aku berharap.. Tiba-tiba benar
saja perempuan itu turun kemudian membayar ongkos ke sopir di depan.
Wah memang benar kalau sudah jodohku nih.. Kulihat perempuan itu masuk
juga ke dalam toko, sambil tersenyum tipis dia menuju ke penjual toko
itu dan kulihat membeli lima buah indomie, susu dancow dan kopi instant
lima sachet.
“Lho rumahnya dimana Mbak?” tanyaku sambil tersenyum.
“Oh saya kos dibelakang toko ini, Mas,” jawabnya sambil mencari dompet dari dalam tasnya.
“Nama saya Adi, boleh kenalan Mbak?” tanyaku sambil menjulurkan tangan buat bersalaman.
“Saya Wati, Mas,” jawabnya sambil senyum dan menjabat tanganku..
Busyet tangannya mulus sekali dan hangat sekali agak berkeringat.
“Berapa Mbak?” kata Wati pada penjual toko sambil mengeluarkan dompetnya.
“Dua puluh sembilan ribu limaratus Mbak “jawab penjual toko itu.
“Ini saja Mbak, sekalian teh botol satu dan rokok dua bungkus” kataku sambil ngeluarin uang seratus ribu ke wanita penjaga toko.
“Nggak usah Mas, saya ada kok” kata Wati sambil ngeluarin dualembar uang duapuluh ribuan.
“Ya sudah gini aja, uang ini bawa dulu, tapi saya minta dibikinin kopi
dulu, sekalian kalau boleh main ke kos-mu sambil nunggu macet, boleh
nggak?” Kataku sambil ngembaliin uangnya.
“Baiklah kalau begitu terima kasih, tapi tempatnya jelek lho Mas, kata Wati sambil tersenyum.
“Ah jangan gitu, saya malah nggak enak nih ngrepotin minta kopi segala” Kataku sambil nerima kembalian dari penjaga toko.
“Mbak, saya titip mobil ya, sekalian ini buat parkirnya,” sambil kukasih wanita penjaga toko uang limaribu”
“Wah makasih ya Mas” kata penjaga toko.
Wati tersenyum dan mengajakku berjalan di gang sebelah toko itu,
jalannya kecil cuman satu meter lebarnya, jadi kalau jalan nggak bisa
bareng, harus satu-satu, Wati jalan di depan dan aku dibelakangnya.
Kuperhatikan selain dadanya yang membusung, ternyata pinggul dan pantat
Wati benar-benar montok habis, sampai-sampai rok yang dipakainyapun
membungkus ketat pantat indah itu serasi sekali dengan pinggul yang
ramping, ditambah bau tubuhnya yang wangi meski kutahu itu bau parfum
biasa.
Kira-kira duapuluh meter jalan, Wati berhenti dan membuka pagar besi
kecil disebuah rumah tanpa halaman dan ternyata didalamnya berjajar
kamar-kamar kontrakan dengan pembatas tembok satu meter antar kamarnya.
“Disini Mas, kamarku paling ujung, dekat dengan kamar mandi, silahkan
masuk dulu Mas, aku mau panasin air sebentar buat bikin kopi” kata Wati
nerocos.
Kamarnya ternyata cukup bersih, di ruang tamu ada karpet biru, meja
kecil ditengahnya dan diujung TV 14 inch terpasang rapi ditambah hiasan
manik-manik yang bagus, tak sempat kulihat kamar tidurnya, tapi melihat
ruang tamunya tertata rapi aku yakin kamar tidurnya pasti bersih juga.
Kuambil remote TV dan kunyalakan, pas berita sore, kuikuti perkembangan
pencalonan presiden dari para politikus negeri ini, tapi aku lebih
tertarik melihat foto dibelakangku ternyata foto Wati menggunakan kebaya
dan samping, cantik sekali.. Tidak dandan saja dia cantik, apalagi
dalam foto itu belahan dada kebaya agak rendah, sehingga sembulan
payudara putihnya kelihatan seksi dan erotis sekali.
“Itu fotoku waktu di kampung bulan lalu Mas, waktu acara kawinan sepupuku” kata Wati sambil membawa dua gelas kopi.
“Memangnya kampungmu dimana? Dan lagi jadi apa waktu acara itu?” Tanyaku sambil membantu nurunin gelas kopi ditaruh di meja.
“Kampungku di Cianjur Mas, waktu itu aku kebagian ngisi nari Jaipongan,
yah gini-gini aku penari Jaipongan Mas, meski hanya sebatas acara di
kampung aja” Kata Wati sambil tersenyum manis.
“Pantesan tapi cantik juga kamu baju kebaya ya, lebih sensual dan menarik” Kataku sambil memandang wajah cantiknya.
“Pantesan apa Mas? Masak orang kampung gini dibilangin sensual dan menarik” Kata Wati.
“Pantesan tubuh kamu bagus dan terawat itu karena rajin jaipongan ya”
“Ah Mas, bisa aja,” katanya sambil mencubit tanganku.
“Silahkan Mas diminum kopinya, aku tinggal sebentar ya mau mandi dulu, udah gerah banget nih rasanya”
Wati masuk ke dalam kamarnya dan mengambil peralatan mandi, letak kamar
mandi kontrakan itu ada di luar tapi masih dekat dengan kamar Wati
mungkin cuma sekitar 4 meter saja dari pintu kamarnya.
“Tunggu sebentar ya Mas, silakan diminum kopinya” Wati berjalan dengan
berkalungkan handuk putih dipundaknya, sementara rambutnya diikat ke
belakang, terlihat cantik dan alami sekali.
Sekitar sepuluh menit Wati di dalam kamar mandi, kudengar suara, ‘waduh
gimana nih bajunya basah gini,’ akhirnya aku mendekat kamar mandi dan
berteriak.
“Ada apa Ti? Ada yang bisa saya santu?” kataku sedikit cemas dan heran.
“Nggak apa-apa kok Mas, bajuku pada jatuh dan basah, Mas apa diluar ada orang lain?” Tanya Wati sambil teriak.
“Ntar aku lihat dulu, ke pintu depan” kataku sambil berjalan ke pagar dan gang kecil menuju rumahnya.
“Nggak ada siapa-siapa” Kataku sambil mendekat ke pintu kamar mandi.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan kulihat Wati hanya berbalut
handuk putihnya, kulihat pundaknya putih sekali, sementara payudaranya
yang montok sedikit menyembul dan pahanya yang putih dan mulus sekali
terlihat tertutup handuk kira-kira 20 cm diatas lututnya, wah aku jadi
kaget sekali dan tiba-tiba Wati menengok dari belakang pintu dan berlari
menuju kamarnya.
“Sorry ya Mas, bajuku pada basah semua, aku ganti baju dulu ya,” kata Wati sambil berlari dengan tubuh mulus terbalut handuk.
Melihat pemandangan yang menggairahkan itu, mengakibatkan otot dalam
celanaku berdenyut-denyut, dan sedikit mengembang, ‘gile bener, tubuhnya
montok bener’. Kataku dalam hati, sambil masuk ke kontrakannya dan
melihat-lihat lagi foto sensualnya.
“Maaf ya Mas, sebenarnya aku malu tadi,” kata Wati sambil duduk di
sampingku, Wati sore itu memakai kaos kuning dan bawahan celana strit
hitam ketat sebatas lutut, namun kaos panjangnya menutupi bagian bawah
sampai 10 cm diatas lutut.
Malam itu kita hanya ngobrol saja sampai jam delapan malam, dari obrolan
itu kutahu kalau Wati sudah hampir setahun bekerja, pernah kuliah D-1
bagian Sekretaris dan sekarang bekerja di bagian administrasi keuangan
sebuah pabrik, dan kutahu bahwa Wati sudah punya pacar di kampungnya,
namun orangtuanya kurang setuju.
“Jangan kapok main ya Mas,” kata Wati berharap.
“Justru aku yang berharap boleh main kesini lagi kalau kamu nggak
keberatan,” kataku sambil memakai sepatu, sambil berjalan pulang
kuberikan kartu namaku.
“Kalau ada apa-apa telpon aja,” kataku sambil bersalaman, perlahan
kuremas tangan halusnya dan Wati kelihatan malu dan tertunduk.
“Daah” aku pamitan dan Wati mengantarkan aku sampai ke tempat parkir.
Setelah perkenalan itu, kurang lebih dua bulan, kami hanya bersahabat
saja, bahkan Wati menyatakan kekaguman karena aku nggak pernah bertindak
tidak sopan, meski kami sering pulang sampai jam 10 malam, paling hanya
berpegangan tangan saja, entahlah mungkin lama-kelamaan dia mulai
sayang, meski sudah kuceritakan bahwa aku sudah beristri dan punya
seorang anak. Hingga suatu hari, aku masih ingat itu hari Rabu, dia
menelpon ke HP-ku,
“Mas, aku pengen ngobrol bisa nggak, sore ini jemput aku ya?” kata Wati di telepon.
“Oke, emangnya ada apa?” Tanyaku.
“Yah pokoknya nanti aja deh, aku mau cerita, udah dulu ya, sampai nanti di tempat biasanya,” Wati menutup telponnya.
Tepat jam 16.30 aku meninggalkan kantor, kulihat dari kejauhan Wati
sudah menunggu dan sedikit melambaikan tangan kegirangan. Wati masuk ke
mobilku dan tersenyum.
“Mas, kita jangan pulang dulu ya, aku pengen cerita banyak dan menenangkan hatiku,” kata Wati sambil menatapku.
“Oke, kita jalan-jalan ke Ciater aja ya, disana kita bisa berendam air
panas sambil ngobrol,” ajakku sambil terpikir ada kolam renang yang
memang cukup nyaman untuk berendam di malam hari.
“Oke, kayaknya asyik juga tuh,” Kata Wati mengiyakan.
Aku menelepon ke rumah, dan bilang ada pekerjaan di kantor yang harus
diselesaikan, kalau ada apa-apa ngebel aja ke kantor, kebetulan aku
sudah setting teleponku tiga kali kring di-forwardkan ke HP-ku.
“Kamu ada masalah apa, kok kelihatan kusut begitu?” kataku sambil mencubit dagu Wati.
“Nggak tahu kenapa aku pengen cerita masalahku ke Mas, kayaknya aku
tenang kalau udah ada di sampingmu Mas,” kata Wati sambil memegang
lenganku.
Posisi mobilku memang agak susah untuk berdekatan, hingga akhirnya Wati
hanya bisa memegang lenganku saja. Sambil sedikit berkaca-kaca, Wati
menceritakan bahwa pacarnya di kampung sudah memutuskan hubungan
dengannya. Selama di perjalanan aku banyak kasih nasehat dan pengertian
kepadanya, dan diapun kelihatan lebih tenang. Sampai di Ayam Goreng
Brebes, Lembang aku memarkirkan mobilku.
“Kita makan dulu yuk,” ajakku.
Berhubung tempat parkirnya penuh, aku agak jauh memarkir mobilku, dan
baru kali ini Wati berani berjalan disampingku sambil memeluk
pinggangku, akupun akhirnya merapatkan tubuh dan memeluk pundaknya
sambil menuju ke tempat makan.
Menuju ke Ciater, diperjalanan Wati memandangku terus dan tiba-tiba saja
bibirnya mengecup pipiku, aku agak gugup namun menikmati juga, sambil
sesekali kuremas tangan halusnya. Wah mau nggak mau banyaknya rangsangan
selama perjalanan mulai mempengaruhi adrenalinku juga. Dan sesampai di
Ciater ternyata suasananya hujan agak deras, jam sudah menunjukkan jam
delapan malam, berendam di kolam renang rasanya nggak mungkin, pulang
juga sudah telanjur, akhirnya kutawarkan ke Wati.
“Gimana kalau kita berendamnya di kamar aja?”
Aku agak khawatir dia keberatan, tapi katanya, “Ya terserah Mas aja” kata Wati.
Di front room hotel, aku booking satu kamar yang ada bathtub buat
berendam air panas, didepan meja frontroom Wati masih memeluk
pinggangku, kali ini terasa kelembutan dadanya menyentuh badanku, dan
ini mau nggak mau berpengaruh pada otot pejal didalam celana dalamku.
Malam itu Ciater dingin banget, kabut turun tebal banget setelah hujan,
hingga perjalanan menuju ke kamarpun harus perlahan, petugas hotel sudah
menunggu di depan kamar dan membukakan pintu kamar.
“Silahkan Pak, silahkan Bu, apa ada yang dipesan?” kata petugas hotel ramah, mengira kami pasangan suami istri.
“Sementara belum Mas, nanti saja kalau perlu saya telpon dari kamar,” kataku sambil memberi sedikit tips buat petugas hotel.
Wati masuk ke kamar dan aku masih duduk di ruang TV, sambil mencari-cari
chanel yang bagus, sambil melepas penat dua jam lebih di belakang
kemudi. Tiba-tiba Wati keluar dari kamar, alamak Wati sudah berganti
baju dengan celana pendek pink ketat dan kaos senam ketat putih polos
pendek hingga kelihatan pusarnya, kulihat bayangan puting payudaranya
yang kecoklatan, tanpa dibungkus beha, pahanya putih dan mulus
menantang, sementara pantatnya yang bahenol tercetak ketat di celananya
dan dadanya benar-benar montok menantang.
“Ayo Mas, katanya mau berendam? Jangan liatin gitu dong,” Kata Wati sambil duduk disampingku.
“Oke, tapi aku nggak bawa baju berendam nih,” kataku sambil membuka baju
kerjaku, aku yang sudah tidak kuat melihat pemandangan yang memancing
birahi itu.
“Mas, badanmu kekar juga ya, “kata Wati sambil memeluk lenganku dari
samping, terasa payudara montoknya melekat erat di lenganku.
Perlahan kuusap paha putih Wati dan tiba-tiba Wati berdiri dan duduk di
pangkuanku, akhirnya tubuh montok itu kupeluk sambil kuangkat kakinya
kuletakkan pahanya yang putih, mulus dan hangat itu diatas pangkuanku.
Perlahan Wati menatap mataku, kemudian memelukku erat sekali, terasa
sekali kekenyalan payudara montoknya, meski terhalang kaos tipis yang
dipakainya, cukup lama Wati menyembunyikan wajahnya di bahuku, kemudian
dia berkata lirih.
“Mas, aku sayang kamu, aku takut kehilangan kamu Mas,” kubelai perlahan
rambutnya, kurenggangkan pelukannya dan kutatap mata Wati, dalam
hitungan detik, bibir kami saling melumat pertama agak perlahan, sambil
kunikmati kelembutan bibirnya, cukup lama kami beratraksi dengan bibir
kami dan makin lama pagutan dan ciumannya makin buas, dan kamipun saling
melumat bibir.
Perlahan ciuman kami agak melemah, lembut kuciumi lehernya, belakang
telinga dan pundaknya, kukecup lembut tanpa suara, tangan kananku
mendarat perlahan di dadanya, begitu padat, kenyal dan kencang,
sementara tangan kiriku pelahan mengangkat kaos ketatnya. Wati
menengadahkan wajahnya dan membusungkan dadanya sambil mengangkat
tangannya, dan segera kulepas kaos ketatnya, betul-betul keindahan
payudara seorang wanita yang kulihat didepanku, kulitnya yang putih
bersih tanpa cacat, ditambah sepasang payudara yang montok, padat dan
menantang, perlahan kujelajahi dan kusapu lembut gunung indah nan
menantang itu, dan perlahan kuusap putingnya yang menonjol keras
kecoklatan, mungkin dia sudah terangsang.
“Mas, pantatku kayak ada yang mengganjal nih, dibuka celananya ya Mas, biar nggak sakit,” kata Wati.
Aku berdiri dan Wati membuka reslutingku, melepas ikat pinggangku dan menurunkan celanaku.
“Apa itu Mas?” kata Wati sambil menutup matanya dengan jari yang masih terbuka.
Otot pejalku yang sudah membesar dan mengeras sekali, tercetak jelas
pada celana pendek katun yang ketat, perlahan kutarik tangan Wati,
kutempelkan tangannya menyusuri bonggol keras dari luar celana pendekku,
perlahan dan lama-lama Wati berinisiatif meremas kontolku dari luar
celana pendekku.
Kubiarkan Wati mengelus dengan jemarinya dan sesekali meremas, kadang
pelan kadang agak kuat, mungkin dia mulai menikmati mainan barunya,
sementara kunikmati aliran kenikmatan, sambil kulihat ekspresinya.
“Gimana Ti?” kataku sambil menatap matanya.
“Mas, aku belum pernah melakukan seperti ini, tadinya malu sekali aku
melihatnya, ternyata kemaluan cowok bisa segede ini ya?” katanya sambil
tersipu.
“Kalau kamu mau, kamu boleh buka celanaku” kataku.
Perlahan tangan halus itu menurunkan celana pendekku dan tiba-tiba
kontolku yang sudah tegak dan berdiri keras seolah miniatur tugu monas,
Wati menatap tak berkedip melihat kemaluanku, pelan jarinya mengelus
batangku yang tegang seperti kayu, urat-urat yang menonjol dia telusuri
perlahan, alamak nikmat sekali, dan garis urat di tengah-tengah bagian
belakang ditelusurinya perlahan, kontolku berkedut-kedut dan tiba-tiba
diremasnya kantong pelirku, sungguh kenikmatan yang luar biasa.
Kutarik Wati untuk berdiri, kebelai pinggul indahnya, berputar
kebelakang meremas bongkahan pantatnya yang bahenol, kupeluk dan kuusap
erat punggungnya, perlahan kukecup lehernya, belakang telinganya dan
pundaknya, kulihat dan kurasakan kulitnya merinding, Wati mempererat
pelukannya dan menempelkan ketat dadanya yang padat membusung ke dadaku,
paduan antara kehangatan dan aliran birahi yang mengalir lewat
kulitnya.
Wati yang hanya tinggal memakai celana dalam tipis warna pink,
menggoyangkan dan menempelkan ketat kemaluanku yang sudah tegang
membesar ke daerah bukit venusnya, meski masih terpisahkan celana
dalamnya, namun kurasakan ada kelembaban dari balik celana dalamnya.
Kulihat mata sendu Wati menikmati foreplay yang panjang malam itu,
kelihatan dia sudah terangsang sekali, dari sorotan matanya dan pelupuk
matanya yang agak sembab, serta payudaranya yang kencang menantang
dengan puting yang mengeras. Kuraba celana dalamnya dan kuturunkan, Wati
membantu menurunkan celana dalamnya dan melempar dengan ujung kakinya,
sambil kucium dan kulumat bibir seksinya, kujamah dan kuremas payudara
montoknya, dan serta merta kuangkat tubuh telanjang nan mulus itu ke
kamar dan kutidurkan diatas kasur bersprei putih bersih.
Sambil tetap menciuminya, aku tidur merapatkan ke tubuhnya, kaki
kuangkat dan kegesek-gesekkan diatas paha putihnya, sementara tanganku
kembali meremas dadanya yang kian montok dan menggunung dengan puting
susunya yang menonjol kecil kecoklatan. Perlahan aku turun menciumi
lehernya dan memutar-mutarkan lidahku ke gunung kembarnya bergantian,
kusapu hingga basah dengan menyisakan puting, pada bagian akhir nanti,
sementara tanganku menjelajah ke pangkal pahanya, menyibak rambut
kemaluannya yang halus menghitam itu, kuusap bibir vaginanya dan Wati
menggelinjangkan pinggulnya.
Kuperhatikan Wati memejamkan matanya menikmati sentuhan dan rangsangan
yang kuberikan, sementara tanpa sadar kontolku yang tegak dan keras,
diremasnya perlahan dan kadang menguat saat rangsangan datang menguat.
Kumainkan ujung jariku menyapu bibir vaginanya yang sudah membasah dan
kusapu pelan belahan lubang vaginanya yang membasah, sambil kujilati
putingnya dengan ujung lidahku bersamaan kuputar perlahan kelentitnya
dengan ujung jari telunjukku, seirama antara jilatan lidahku di ujung
putingnya dan usapan ujung jari telunjukku di ujung kelentitnya, serta
merta Wati menggoyangkan pantat dan pinggulnya, menggeleparkan dan
membuka lebar pahanya dan membusungkan dadanya hingga kelihatan
merangsang sekali, sambil menutup matanya dengan bibir yang membasah dan
sedikit terbuka, sementara tangannya menggenggam erat sekali kemaluanku
yang masih mengeras dan berdenyut-denyut.
“Uuff mmaas, kau apakan tubuhku ini,” mulut Wati mengerang menahan kenikmatan.
Tubuhnya menggelinjang keras sekali, pahanya bergetar hebat dan kadang
menjepit tanganku dengan erat saat jariku masih menyentuh kelentitnya,
dan tiba-tiba kontolku dicengkeram dengan keras seolah mengajak untuk
menikmati orgasmenya dalam foreplay itu.
Kuremas dengan irama perlahan payudaranya yang tambah mengeras dan
membusung itu dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku terjepit
diantara kedua paha mulusnya, kemaluanku diremasnya dan tangan satunya
memelukku erat sementara paha dan kakinya menggelepar keras sekali
hingga sprei putih itu berserakan tak karuan, orgasme pertama sudah
dirasakannya.
Tanpa berhenti kumainkan pelan tanpa henti kelentitnya, dan mungkin sekarang Wati sudah terangsang kembali.
“Mas, tolong masukkan, aku ingin merasakannya sayang,” katanya sambil
menghiba dan meringis menahan kenikmatan tiada tara yang dirasakannya.
Perlahan aku menaiki tubuhnya, pahaku menempel erat dipahanya yang
mengangkang dan kepala kontolku menempel di kelentitnya menggantikan
ujung jari telunjukku.
Sambil kuciumi leher putihnya, pundak dan belakang telinganya, kepala
kontolku bergerak-gerak mengelilingi bibir memeknya yang hangat dan
basah, kulihat Wati merem melek menikmati benda pejal di bibir memeknya,
lidahnya menyapu bibirnya hingga membasah, dan wajahnya memerah dengan
mata merem melek tak beraturan. Dengan perlahan akhirnya sedikit demi
sedikit kumasukkan batang kontolku ke dalam vaginanya, saat kucoba
menyelipkan kepala kontolku ke mulut vaginanya rasanya peret dan sulit
sekali, kulihat Wati sedikit meringis dan membuka mulutnya dan sedikit
menjerit.
“Aah,”
Namun akhirnya kepala kontolku sudah mulai masuk dan mulai kurasakan
kehangatan vaginanya, perlahan kumasukkan sesenti demi sesenti, pada
sekitar centimeter ke 4 menuju ke 5, Wati tiba-tiba berteriak dan
menjerit.
“Aduh Mas sakit sekali,” katanya, “Seperti ada yang menusuk dan nyerinya sampai ke perut,” katanya.
“Aku cabut aja ya?”
“Jangan, biarkan dulu kutahan rasa sakit ini,”
Aku yang sudah merasa kenikmatan yang luar biasa dan sedikit demi
sedikit mulai kumasukkan lagi batang kontolku. Kulihat Wati meneteskan
air mata, namun tiba-tiba dia menggoyangkan pantatnya dan tentunya
akhirnya kontolku hampir seluruhnya masuk, kenikmatan yang belum pernah
kurasakan, kontolku serasa digigit bibir yang kenyal, hangat, agak
lembab dan nikmat sekali.
Akhirnya kamipun mulai menikmati hubungan badan ini.
“Mas rasa sakitnya sudah agak berkurang, sekarang keluar masukkan kontolmu Mas, rasanya nikmat sekali”
Perlahan aku mulai mengayun batang kontolku keluar masuk ke vagina Wati,
kulihat tangannya diangkat dan memegang erat-erat kepalanya dan
akhirnya menarik sprei tempat tidurnya, sementara pahanya dia kangkangin
lebar-lebar dan mencari-cari pinggulku, hingga akhirnya kakinya
melingkar di pantatku dan seolah meminta kontolku untuk dimasukkan
dalam-dalam ke vaginanya.
Beberapa kali ayunan, akhirnya aku agak yakin dia sudah tidak begitu
merasakan sakit di vaginanya, dan kupercepat ayunan kontolku di
vaginanya. Wati berteriak-teriak dan tiba merapatkan jepitan kakinya di
pantatku, kepala menggeleng-geleng dan tangannya menarik kuat-kuat sprei
tempat tidurnya, mungkin dia mau orgasme, pikirku. Tiba-tiba tangannya
memelukku erat-erat dan kakinya makin merapatkan jepitannya di pantatku,
kurasakan payudara besarnya tergencet dadaku, rasanya hangat dan kenyal
sekali, aku diam sejenak dan kubenamkan kontolku seluruhnya di dalam
vaginanya.
“Oh, mmas aku keluar.. Ahh.. Ahh.. Ahh,”
Aku merasakan nikmat yang amat sangat, kontolku berdenyut-denyut,
rasanya aliran darah mengalir kencang di kontolku, dan aku yakin
kontolku sangat tegang sekali dan begitu membesar di dalam vagina Wati,
sepertimya aku juga akan mengeluarkan air kejantananku.
Beberapa saat kemudian, kubuka sedikit jepitan kaki Wati dipantatku,
sambil kubuka lebar-lebar paha Wati, kulihat ada cairan kental berwarna
kemerah-merahan dari vagina Wati, kontolku rasanya licin sekali dialiri
cairan itu, dan akhirnya dengan cepat aku kayuh kontolku keluar masuk
dari vagina Wati, nikmat sekali rasanya. Ada mungkin delapan sampai
sembilan kayuhan kontolku di vagina Wati, tiba-tiba kurasakan ada
sesuatu yang akan meledak dari dalam kontolku dan akhirnya..
Croot.. Croot.. Croot.. Croot..
Vaginanya berdenyut-denyut menikmati aliran maniku yang hangat,
sementara kurasakan batangku masih berdenyut-denyut nikmat, kubenamkan
batangku dalam kehangatan vaginanya yang basah. Kupandang wajahnya yang
berkeringat, perlahan kusapu dengan tanganku dan kuciumi dengan penuh
rasa sayang, akhirnya kamipun terkulai lemas dan Wati memeluk tubuhku
erat, tanpa mempedulikan cairan yang merembes keluar dari lubang
kenikmatannya.
Ada lebih sejam kami tertidur dalam kenikmatan, dan selanjutnya berdua
kita berendam dengan air hangat di bathtub, hingga badanpun terasa segar
kembali. Setelah menikmati makan malam di cafeteria, akhirnya kamipun
kembali ke kamar jam 12.00 malam, mengulangi permainan dengan lebih
ganas hingga jam 1 dinihari, kamipun tertidur tanpa busana, dan kupeluk
tubuh telanjangnya dalam kehangatan selimut.
Hingga esoknya kuputuskan untuk mengambil cuti sehari dan sebelum
checkout jam 12 siang, kami masih menyisakan dua kali permainan di kamar
tidur dan di bathtub. Lain kali akan kuceritakan pengalamanku dengan
Wati di kampungnya saat aku mengantarnya mudik.